Terpencil

Cerpen: J. KAMAL FARZA

Tabuhan rebana melengking, merobek-robek kesunyian desa di kaki bukit itu. Alunan lembut suara gadis-gadis desa menampilkan kekhasan tesendiri, sebagai musik hiburan rakyat. Beberapa tembang telah dinyanyikan dengan sangat sempurna, menyatu dengan suara seurune kale, seakan mengisyaratkan kepiluan penyanyinya. Musik rebana memang hiburan utama rakyat desa. Dan gadis-gadis penabuh rebana merupakan idola yang dipuja.

Aku, sebagai seorang asing yang baru saja mendatangi desa itu berbaur bersama ratusan rakyat, menyaksikan pentas terbuka. Kepala desa mendampingiku. Demikian pula beberapa tokoh penting didesa. Ada keharuan terlihat, bagaimana meriahnya sambutan yang diberikan masyarakat bila ada orang yang datang. Apalagi yang datang itu sebagai pejabat atau orang pemerintah, masyarakat menyambutnya dengan segala kemeriahan.

Kuperhatikan penyanyi-penyanyi itu dengan khidmat. Tetapi mataku sebenarnya lebih tertruju pada seorang saja diantaranya. Gadis dikolompok itu seni rebana itu. Suaranya melengking, menyanyat-nyayat, menyanyikan kepiluan yang prima. Walau ia hanya menyanyikan tembang seadanya saja, tetapi kupikir, ia begitu menhayati syair-syair yang ia nyanyikan.

Kami gadis kampung

Terkurung oleh gunung yang tinggi

Terbatas oleh laut yang luas

Tak pernah membayangkan dunia ini luas

Terkungkung oleh kejamnya batas.

Hanya sebait saya yang sempat kuingat. Hanya sebait saja yang sempat kuhapal namun begitu berkesan. Desa itu lebih terasa ketika aku menjalani kehidupan disana. Kehidupan yang tidak kurang dari syair-syair yang dinyanyikan pemliknya.

Gadis di sini cantik-cantik, pikirku.

Tetapi kecantikakanya mesti rela mereka lepaskan, ketika mereka baru saja menikmati hidupnya yang pertama, Ya, sekitar usia 15,16, atau 17 tahun mereka harus kawin, kawin yang dalam terminologi mereka, tidak secuilpun dapat mereka tolak.

Gadis-gadis itu mesti menerima pinangan sepupunya, tetangganya, atau anak besan orang tuanya. Lalu mereka menikmati suasan hidup yang bagiku adalah tanpa variasi. Siang mereka bekerja disawah, malam sawahnya pula yang kerjai suaminya. Meraka lalu beranak, beranak terus, terus-terus. Dan anaknya juga akan mengikuti irama hidup yang tak jauh bedanya dengan irama hidup mereka.

***

Hari-hari pertama aku berasa di desa itu adalah masa-masa observasi untuk mengenal rumah, kutanyakan segala hal tentang kehidupan merka, dan meraka menjawab dengan polos dan ramah.

”Hidup adalah bekerja Dan bekerja adalah bagaian dari pengabdian kepada Tuhan tutur seorang ibu muda.

”Cut kak demikian juga?” tanyaku.

”Ya, membantu suami.”

”Di ladang?”

”Pokoknya di tanah pertanian, ya , di sawah, ladang atau tegalan”

”Mengapa masih juga miskin?’

”O, kalau hal itu yang ditanya, tanyakan saja sama Tuhan.” wajahnya menampakkan kebencian. Kelihantannya ia kurang senang dengan pertanyaanku.

”Cut Kak bahagia?” lanjutku, mengalihkan pembicaranan.

”Bahagia, sangat bahagia, Saya pikir kebahagiaan bukanlah didapatkan ditempat tujuan, kebahagiaan kami nikmati dalam perjalanan, ya dalam perjalanan hidup seperti ini.”

Pendapat ibu muda yang kira-kira 19-an dan mengaku hanya sekolah sampai kelas 2 SLTP itu , mengingatkanku pada tulisan seorang sastrawan. Apakah ia pernah membacanya? Atau secara kebetulan orang desa juga memiliki pandangan-pandangan yang luas tentang hidup dan masa depan.

Beberapa warga lain juga kutanyai. Mereka sama. Menjawab dengan polos dan ramah. Hal mana sangat sulit kutemui dalam kehidupan kota, tempat berkumpulnya orang-orang dengan hidup yang nafsi-nafsi.

Aku mengorek pula keterangan kepala desa. Kuteliti arsip-arsip desa. Kubaca daftar potensi desa, daftar penduduk, riwayat kelahiran dan perkawinan. Dan kematian.

”Rata-rata gadis-gadis dan pemuda-pemuda sini kawin diusia 13-17 tahun, Apa bermasalah dengan hukum perkawinan?” tanyaku pada Pak Kades.

”Sebenarnya memang bermasalah. Tetapi ketika kawin biasanya mereka manipulasi tahun kelahiran kalau 14 orang tuanya bilang 20.” jelas Pak Kades.

”Tidak bisa dicegah? Soalnya , kawin muda kurang bagus bagi kesehatan ibu dan anak.” komentar ku meniru ucapan-ucapan petugas Ka-Be.

”O tidak bisa, mempersulit orang kawin adalah suatu dosa, bapak tidak tahu?” pertanyaannya menyudutkanku.

***

Begitulah, aku mencoba merasakan nikmatnya kehidupan desa itu, aku akrabi dengan penuh keakraban. Ketika pagi tiba, saat matahari muncul dari persembunyiannya dibukit-bukit pala, mengusir embun yang menempel didaun-daun, penduduk pun bangkit dan mengusir selimutnya, mereka menghalau kerbau menuju sawah maupun ladang bertugas membalik subur tanahnya.

Dan bila sore datang, saat burung-burung pulang ke sarangnya, sang istri menyambut suaminya dengan senyum yang cerah. Lalu menutup pintu rapat-rapat. Mereka nyalakan lampu, untuk kemudian menikmati mimpi–mimpi dengan kenikmatan sempurna. Sangat jarang kudengar mereka ribut, katakanlah semisalnya bertengkar, karena uang belanja. Adalah mereka tidak bahagia?

”Saya pikir mereka sangatlah bahagia. Bahagia bukanlah diukur dari kekayaan dan kemewahan. Kebahagian didapatkan dari kenikmatan-kenikmatan. Dan kenikmatan merupakan sesuatu yang sederhana. Seorang perokok dan pecandu kopi, misalnya. Ia menermukan kenikmatan yang sempurna ketika kita menyuguhkan segelas kopi dan sebatang rokok.” Ungkap Pak Camat ketika mengajakku ngobrol. ”Bukan kah kenikmatan seperti itu merupakan suatu kebahagiaan? ”tanyanya

Aku juga bahagia. Sebabnya sederhana saja, karena juga dapat bertemu dan berkenalan dengan gadis yang meiliki suara bening. Yazna 18 tahun. Kelihatannya ia sangat terdidik sederhana, tetapi juga cuek. Ia kurang peduli dengan kami, sebagai peneliti dari propinsi padahal, sudah kuceritakan bahwa kehadiran kami untuk meneliti dan menyampaikan laporan kepada pejabat atasan, kemudian akan ada pembangunan didesa terpencil itu.

”Percuma.” katanya suatu ketika.” Toh kalian tak mungkin dapat merubah nasib kami. Kalian tak mungkin mampu membebaskan jiwa kami terutama perempuan dari kungkungan tradisi ini.”

Nona jangan pesimis. Mungkin apa yang Nona lihat dan rasakan sekarang akan jauh berubah dalam 2 atau 3 tahun lagi.” jelasku.

”Betulkah, atau aku sedang bermimpi.” Yazna mencibir.

”Nona, saya melihat masyarakat di sini membutuhkan pendidikan. Bila saja disini dibangun SMP dan SMA pasti anak-anak disini dapat bersekolah. Lalu mereka akan menolak dan memberontak, ketika orang tuanya menjodohkannya. Bukankah dengan cara begitu, kalian akan maju?” tanyaku. ”Dan perlu Nona ketahui , disini juga akan dibangun pabrik kayu lapis. Hutan-hutan akan ditebangi untuk mengurangi keteriosoliran. Dengan demikian, masyarakat di sana akan mampu bekerja lebih baik. Jalan-jalan akan dibangun. Begitu juga puskesmas, jaringan listrik, telepon, akan ada Nona akan melihat orang-orang datang kemari lebih banyak. Nona akan menyaksikan banyaknya antena parabola, karena pendapatan masyarakat meningkat. Lalu desa ini pelan-pelan akan berubah jadi kota; ada restora, pasar swalayan bahkan lapangan golf. Hal ini untuk membetahkan bos-bos pabrik menetap disini. Bukan kah ini kemajuan?”

Yazna diam. Aku meyakinkannya terus, bahwa di desa itu akan didirikan cukup banyak hotel, losmen bahkan ribuan lembaga kursus. Tetapi aku tidak tega untuk mengatakan bahwa disini juga kan terjadi penggusuran dengan dalih punya ganti–rugi.

”Pasti juga akan merubah watak dan cara hidup orang-orang sini. Mereka akan sombong. Konsurmtif dan materialistis.” suara Yazna parau.

”Mungkin, apa boleh buat.”

***

Yazna makin akrab dengan ku, dan aku menyukainya. Ia temanku berdiskusi dan sekaligus pemandu. Menurutku, sangat sedikit orang desa bisa diajak berdialog, tentang kemajuan, juga perasaan.

Keakrabanku dengannya diam-diam menumbuhkan rasa suka yang berlebihan. Tetapi aku begitu terkejut melihat reaksinya ketika hal itu kusampaikan kepadanya.’

”Abang boleh saja menyukaiku, itu hak abang sepenuhnya.”

”Maksudmu?”

”Abang membohongiku,. Abang sudah kawin!”

Aku bagai kesetrom. Untuk menutupi kebohonganku ku katakana; ”Apakah orang yang sudah kawin tidak boleh menyukai seorang gadis?”

“Itu hak abang sepenuhnya.”

“Hak bagaimana?”

“Hak untuk disukai dan menyukai adalah milik setiap orang. Tetapi abang jangan terlalu jauh menyukaiku, kasihan istri abang. Abang harus tahu bahwa aku ini pemberontak. Dulu aku memberontak, ketika ayagh mau menjodohkan aku dengan anak temannya. Sekarang ketika cinta diam-diam mulai tumnbuh untuk abang, aku juga harus memberontak. Aku tak boleh mengkhiantai kaumku.”

Yazna bangkit dan meninggalkanku sendiri. Setelah itu aku sangat sulit menjumpainmya bahkan ketika aku menyelesaikan tugasku dan meninggalkan desa itu, aku berangkat dengan sangat kesepian…..Kesepian yang sempurna.

(Sudut Aceh Selatan, Agustus 1995)

Cerpen ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, Tahun 1995, tanggal dan bulan unknow

Pos ini dipublikasikan di FIKSI. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar