Gerakan Oposisi Lokal Aceh

Oleh: J. Kamal Farza*

Catatan Kecil Perjalanan

Tulisan ini berawal dari dialog dengan seorang teman dalam sebuah perjalanan dari Arhus ke Copenhagen yang berlangsung beberapa waktu yang lalu. Menikmati perjalanan di awal musim gugur di saat daun daun mulai berganti warna serta memandang daerah pedesaan bangsa Viking kuno adalah pengalaman yang baru. Keindahan alam, masyarakat dengan tertib sosial yang tinggi serta kemakmuran dan kesejahteraan adalah kata – kata kunci untuk menggambarkan sebuah Denmark yang juga mewakili gambaran negara – negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia) secara persis. Sebagai catatan saja, laporan Human Develpoment Index PBB yang dirilis pada 5 Oktiber 2009 menempatkan hampir seluruh negara – negara ini pada tempat teratas negara dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan paling tinggi di dunia, di mana Norway menempati posisi pertama, Swedia urutan ketujuh, dan Denmark urutan keenambelas (http://en.wikipedia.org/wiki/Human_Development_Index).

Riwayat Perubahan
Tentu pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan ini adalah proses yang panjang. Yang pertama diterapkan adalah aturan dasar di dalam hubungan sosial, politik dan ekonomi. Aturan ini tidak hanya sekedar hokum dasar yang mengatur ketertiban ekonomi, sosial dan politik, tetapi juga menjadi panduan etika yang lambat laun berproses menjadi kebudayaan modern di dalam masyarakat Denmark. Untuk hal yang kecil, dengan etika ini, saya dapat meilihat kota kota di Denmark yang bersih meski larangan membuang sampah tidak ditemukan di mana mana. Juga di jalan raya, ketika tengah malam, para pejalan kaki maupun pemilik kendaraan bermotor akan tetap sabar mengikuti aturan lampu pengatur jalan meski tak ada satupun polisi yang mengawasi.

Meskipun masyarakatnya taat hukum dan terinternalisasi dalam kehidupan keseharian, tidak pernah ditemukan terjadi kasus di mana masyarakatnya main hakim sendiri atas nama ‘penegakan hukum’ yang dengan mudahnya menghakimi pelaku (yang masih dugaan) dengan cara cara tidak beradab seperti membenamkan dan memandikannya ke parit, atau memperkosa seorang perempuan secara beramai ramai hanya dengan alasan yang bersangkutan melakukan tindakan mesum dan ‘menodai kesucian’ wilayah tempat kejadian perkara. Tingkat krimimalitas dan pelanggaran hukum sangat sangatlah rendah, baik pencurian maupun korupsi sangat jarang ditemukan kasusnya meski hukum di Denmark tidak menggunakan ancaman potong tangan, cambuk ataupun rajam. Kesadaran masyarakat dalam konteks etika hukum dalam relasi sosial, ekonomi dan politik menjadikan modal utama bagi negara – negara seperti Denmark untuk maju dan berkembang.

Selain hukum dan etika juga masalah mentalitas. Kemauan komunal untuk membangun masyarakat yang lebih baik secara bersama adalah modal dasar dan utama yang dimiliki masyarakat Denmark dan seharusnya juga dimiliki oleh setiap masyarakat ‘normal’ lainnya. Dengan mentalitas “membangun secara bersama”, kompetisi yang muncul menciptakan jurang sosial yang ekstrim. Adalah pemandangan yang umum melihat tokoh politik ataupun seorang professor senior hanya berjalan kaki, atau menggunakan sepeda butut sebagai sarana transportasinya. Meskipun Denmark adalah sebuah negera sekuler, namun kompetisi yang ada tidak menggiring masyarakatnya pada sikap tamak dan serakah. Sehingga dalam konteks Denmark, dapat diasumsikan bahwa tidak akan mudah ditemukan orang – orang yang dengan serakahnya memanfaatkan penderitaan akibat bencana untuk mendapatkan rumah ganda – berkali lipat, atau juga para orang kaya yang ‘rela’ menyewakan rumahnya dengan biaya tinggi dan kemudian memilih tinggal di barak untuk mendapatkan bantuan gratis dan (mungkin) juga bantuan rumah. Mentalitas ini ikut membantu mencegah korupsi dan manipulasi di dalam masyarakat Denmark yang ‘tidak suka pamer’ tersebut.

Masalah mentalitas dan profesionalsime aparatur pemerintahan juga menjadi factor penting dalam membangun perubahan di Denmark. Disadari, ‘Reformasi’ birokrasi di bidang ini membutuhkan waktu yang lebih lama dari bidang lainnya. Sehingga tidak perlu heran jika sebuah instansi, sebutlah rumah sakit, meskipun memiliki fasilitas yang canggih dan gedung yang masih melekat aroma catnya, namun pelayanannya tidaklah seindah gedungnya, — pun tidak secanggih peralatannya. Pengadaan fasilitas informasi dan teknologi di pemerintahan juga tidak dengan serta merta meningkatkan profesionalisme pelayanan masyarakat. Peralatan – peralatan komputer yang tersedia di setiap instansi pemerintahan cenderung lebih sering digunakan dengan kesadaran penuh untuk mengisi waktu yang (seakan) selalu luang dengan aktifitas ‘kreatif’ seperti bermain solitaire, Tetris, chatting atau membuka facebook.

Tentu gambaran – gambaran di atas nyaris menjadi sejarah di banyak negara maju seperti Denmark. Aparatus pemerintahan adalah pelaku utama dalam pelayanan publik, akan tetapi jika mentalitas – profesionalisme seperti yang tergambarkan di atas masih melekat maka pembangunan dan perubahan yang diselalu dikampanyekan hanya tinggal slogan yang melekat pada poster, baliho ataupun billboard. Satu hal yang menarik, berbicara masalah poster, baliho ataupun billboard, hampir tidak ditemukan wajah – wajah pemimpin publik dengan slogan – slogan ‘besar’ di Denmark atau di beberapa kota kota Eropa yang saya kunjungi. Bagi saya yang awam, membandingkan Banda Aceh dengan setiap sudut jalan dan instansi yang selalu dihiasi dengan wajah ‘ganteng’ dan ‘cantik’ para pejabat publiknya, tentulah para tokoh/pejabat di eropa harus lebih ‘pede’ untuk memasang wajahnya, selain program pembangunanya relative berhasil, ya dari segi rupa atau wajah, para pejabat publik di eropa juga tidak dapat dikatakan buruk. Namun aktifitas yang senang mengiklankan diri (narsistik) sendiri ini dianggap ‘kampungan’ dan aneh oleh masyarakat eropa pada umumnya, apalagi diluar masa kampanye (dan apalagi realitanya masih banyak hal yang “maaf” belum bisa dibanggakan).

Faktor lain yang sangat menentukan adalah pengelolaan pemerintahan. Denmark, sebagai negara monarki tertua di dunia ini (dimulai sejak 900 M) dan berpenduduk 5,4 juta jiwa (2008) bukanlah negara yang memiliki hasil alam yang melimpah seperti Indonesia, bahkan dengan skala perbandingan hasil alam mineral dan pertanian, Aceh dapat disimpulkan lebih kaya dari Denmark. Namun kaya akan hasil alam tidak selalu menjamin sebuah negara atau wilayah akan makmur – sejahtera. Tidaklah susah untuk mengingat bahwa ada banyak wilayah yang kaya terjebak pada konflik atau perang. Salah satu sebab utama dari konflik konflik yang muncul sebagai akibat dari kemisikinan struktural yang memiskinkan rakyatnya sendiri secara sistematis.

Gejala ini terlihat secara telanjang di banyak negara – negara sedang berkembang, dimana sumber daya yang melimpah dikorup secara fantatsis oleh segilintir golongan. Program – program pembagunan hanya terjebak pada jargon – jargon besar dan terkadang dikaitkan dengan istilah istilah global, seperti good governance, green vision, pemakmuran masyarakat, dst. Ironinya program – program ini belum menyentuh dan mengubah kondisi yang ada. Alasanya sangat sederhana, pemerintah sendiri tidak memiliki strategi dan kapasitas (manajemen) dalam pelaksanaan program tersebut.

Tentu pemain kunci dari semua keadaan ini adalah pemimpin pemerintahan yang menjadi ‘supir’ pembangunan. Mengambil contoh Singapore dan Malasysia, Lee Kuan Yew dan Mahatthir Mohammad menjadi ‘supir’ yang menentukan kemajuan negara teserbut, kita juga mengenal Deng Xiaping di Cina, Khadafi di Libya, Pembangunan menuju perubahan yang lebih baik mebutuhkan ‘supir’ yang handal, apalagi jika jalan yang dilalui terasa tidak mudah.

Aceh Hendak Kemana?
Tentu secara sadar saya tidak akan membadingkan pada momentum waktu yang sama antara Aceh dan Denmark ataupun dengan negara Skandinavia lainnya di mana para pencari suaka politik Aceh menikmati tingkat kesejahateran tertinggi di dunia saat ini. Tetapi tentu tidak salah jika saya dan banyak masyarakat Aceh di Skandinavia memimpikan Aceh suatu saat dapat menjadi sejahatera dan makmur. Dengan segala peluang yang dimiliki Aceh saat ini, seharusnya ada banyak kemajuan yang bisa dicapai Aceh dalam 3 tahun pemerintahan Irwandi – Nazar, sebagai perbandingan, Provinsi Gorontalo, atau Kabupaten Jembrana, dengan segala keterbatasan yang ada dan tidak memiliki status ke’khususan’ seperti Aceh, pemimpin kedua wilayah tersebut telah berhasil mengangkat taraf hidup masyarakatnya. Dan ini tidak berlebihan mengigat sumber daya alam dan potensi yang dimiliki oleh Aceh.

Persoalannya untuk memulai ke arah sana, Aceh membutuhkan seorang figur pemimpin yang bukan hanya mahir mengendarai mobil ketika dalam kondisi ‘stroke’ akan tetapi sejatinya membawa perubahan yang jelas, berarti, terasa, teraba dan terlihat. Sulit dibayangkan pemimpin saat ini akan membawa perubahan dan kemajuan jika hampir tiga tahun terakhir semakin nyata ketidakmampuannya dalam melaksanakan pembangunan dan mengelola anggaran dengan indikator penyerapan anggran yang rendah dan kualitan pembagunan yang belum memenuhi standar. Yang sangat memalukan adalah sikap cenderung menyalahkan ‘Jakarta’ yang sering terlontar saat ini, “Jakarta belum ikhlas”, atau “UUPA masih belum sesuai dengan MoU”, mungkin semua itu benar secara subyektif, akan tetapi rendahnya tingkat penyerapan angaran dan pembagunan yang seolah tanpa visi hanya menunjukan satu fakta bahwa pemerintahan Aceh sekarang memang tidak mampu membawa perubahan ke-arah lebih baik.

Bahkan upaya – upaya perbaikan secara signifikan belum terlihat oleh masyarakat seperti pergantian Kepala Dinas yang tidak memiliki kualifikasi, atau memperbanyak perhatian pada pengelolaan pembangunan saat ini daripada alasan menggelikan ‘berburu’ investor ke luar negeri yang belum membawa hasil berarti kepada Aceh. Secara sederhana, seorang pemimpin yang paling pikun sekalipun (bahkan tidak dibutuhkan seorang ahli strategi) akan memilih untuk lebih banyak memberikan perhatiannya kepada penyerapan angaran yang masih tersisa triliunan rupiah daripada berburu investor dengan investasi triliunan rupiah yang masih di dalam mimpi. Dengan angka kemiskinan yang masih tinggi 21, 80 % (2009) berbanding dengan anggaran pembangunan yang besar namun hanya terserap sebagian kecil, secara awam dapatlah disimpulkan bahwa ada sesuatu yang salah dari cara pengelolaan pembangunan saat ini. Dan tentunya Gubernur Aceh yang dibantu oleh dukungan puluhan cerdik pandai baik sebagai Tim Ahli maupun Tim Asistensi dapat dengan mudah mendeteski dan memperbaiki masalah – masalah yang ada dalam pembangunan di Aceh.

Untunglah kehadiran BRR dan lembaga donor/NGO lainnya dapat menutup segala kekurangan pemerintahan Irwandi – Nazar saat ini. Jikapun masih muncul pandangan miring terhadap pembangunan di Aceh, maka sebagian anggota lingkaran elit pemerintahan Aceh dapat berdalaih kepada masyarakat mengenai ‘kesalahan’ Jakarta atau adanya regulasi yang belu jelas. Retorika ini paling kurang dapat menutupi ‘impotensi’ Pemerintah Aceh namun sejatinya tidak pernah menyelesaikan masalah kronis yang ada. Kontrol pembagunan yang seharusnya muncul dari lembaga parlemen lokal juga tidak berjalan sesuai harapan dan gerakan oposisi hanya muncul dari kalangan NGO dan mahasiswa dengan isu yang lebih terbatas dan temporer. Untuk ke depan juga akan tidak mudah jika berharap terlalu banyak akan munculnya kelompok oposisi di dalam DPRA (atau DPRK) mengingat Kepala Pemerintahan Aceh adalah unsur yang berasal dari partai yang ‘mendominasi’ parlemen saat ini. Dengan kondisi ini, maka lahirnya gerakan opisisi yang konsisten diluar parlemen meruakan suatu keharusan sejarah, bukan saja untuk memberi bobot pada demokrasi (secara ideal), tetapi juga sejatinya untuk membantu pemerintahan Irwandi Nazar dalam membangun Aceh lebih baik, sebuah harapan di waktu yang masih tersisa.

Lantas, “kita harus mulai gerakan ini sekarang, Bang!” ujar teman saya, sambil berjabat tangan melepaskan keberangkatan saya dan teman lainnya ke Amstedam. Di bawah langit malam eropa utara yang dingin dan sayu, saya menjawab “insya Allah”, meski jalan tidak mudah untuk itu.

Arhus – Copenhagen – Amsterdam, 2009.
——
* Peminat Gerakan Sosial dan Praktisi Hukum, Banda Aceh

Pos ini dipublikasikan di POLHUKAM. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar